Panggilan “daeng” sempat mencuat ke permukaan ketika salah seorang
anggota Pansus Century, Ruhut Sitompul, memanggil mantan wakil presiden
Jusuf Kalla dengan panggilan “Daeng” dalam salah satu sesi sidang yang
menghadirkan Jusuf Kalla. Tindakan Ruhut Sitompul ini sontak menuai
kritikan dari anggota Pansus lain yang juga berasal dari Sulawesi
Selatan. Lalu apakah Ruhut salah dalam menggunakan panggilan “Daeng”?
Untuk penjelasannya silakan merujuk ke tulisan bugishy.
Panggilan “daeng” yang banyak dikenal orang identik dengan kebudayaan
Bugis-Makassar. Padahal, di Sulawesi Selatan, panggilan “Daeng”
setidaknya digunakan pada dua kebudayaan dengan arti dan makna yang
berbeda. Pada kebudayaan Bugis-Makassar, panggilan “Daeng” memiliki arti
sebagaimana yang telah diadopsi orang banyak (baca tulisan bugishy), namun pada kebudayaan orang Luwu/Palopo, panggilan “Daeng” memiliki beberapa arti yang tidak bisa dikatakan sama.
Sistem demografi di Indonesia memang tidak mengakui eksistensi
suku/kebudayaan Luwu, sehingga komunitas luas yang terdiri dari 21
kecamatan ini dikelompokkan sebagai suku Bugis atau Toraja, padahal
mereka memiliki kebudayaan dan adat-istiadat tersendiri yang – meskipun
ada kemiripan – berbeda dari suku Bugis, lebih-lebih Toraja.
Dalam masyarakat Luwu, panggilan “Daeng” setidaknya memiliki 3 arti:
1. “Daeng” (tanpa nama gelar) sebagai panggilan hormat (honorofik) untuk kakak kandung, baik laki-laki maupun perempuan.
2. “Daeng” (tanpa nama gelar) sebagai panggilan umum yang sangat
sopan kepada orang yang lebih tua (laki-laki atau perempuan). Fungsi
panggilan “Daeng” di sini berlaku bagi semua kalangan dan stratifikasi
sosial, baik yang sudah menikah maupun yang belum.
3. “Daeng” (dengan nama gelar) sebagai panggilan atau julukan yang
diberikan kepada seseorang yang telah menikah. Panggilan “Daeng” yang
disertai nama gelar ini tidak ditentukan sendiri tetapi diberikan oleh
orang lain atau masyarakat sekitar sesuai dengan sifat atau pembawaan
seseorang. Contoh, seseorang dijuluki “Daeng Pacidda” karena selalu
cepat dalam bertindak (pacidda = bertindak cepat). Seseorang dijuluki
“Daeng Madduppa” karena setiap prediksi/perkataannya selalu benar dan
terjadi (madduppa = terjadi). Seseorang dijuluki “Daeng Pabeta” karena
selalu untung/menang dalam kompetisi (pabeta = untung/menang).
Yang masih bertahan sampai sekarang hanya poin (1) dan (2), sedangkan
poin (3) perlahan-lahan sudah tidak dipakai lagi oleh generasi
sekarang. Julukan-julukan seperti itu masih saya jumpai pada orang tua
saya sendiri dan orang-orang segenerasinya, namun tidak disandang lagi
oleh anak-anaknya atau generasi berikutnya (sekalipun masih ada
segelintir keluarga yang tetap mempertahankannya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar