Sambutan

SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI YANG SANGAT SEDERHANA!! TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA..........

Jumat, 02 November 2012

Panggilan Daeng Dalam Budaya Luwu


sultan-hasanuddinPanggilan “daeng” sempat mencuat ke permukaan ketika salah seorang anggota Pansus Century, Ruhut Sitompul, memanggil mantan wakil presiden Jusuf Kalla dengan panggilan “Daeng” dalam salah satu sesi sidang yang menghadirkan Jusuf Kalla. Tindakan Ruhut Sitompul ini sontak menuai kritikan dari anggota Pansus lain yang juga berasal dari Sulawesi Selatan. Lalu apakah Ruhut salah dalam menggunakan panggilan “Daeng”? Untuk penjelasannya silakan merujuk ke tulisan bugishy.
Panggilan “daeng” yang banyak dikenal orang identik dengan kebudayaan Bugis-Makassar. Padahal, di Sulawesi Selatan, panggilan “Daeng” setidaknya digunakan pada dua kebudayaan dengan arti dan makna yang berbeda. Pada kebudayaan Bugis-Makassar, panggilan “Daeng” memiliki arti sebagaimana yang telah diadopsi orang banyak (baca tulisan bugishy), namun pada kebudayaan orang Luwu/Palopo, panggilan “Daeng” memiliki beberapa arti yang tidak bisa dikatakan sama.
Sistem demografi di Indonesia memang tidak mengakui eksistensi suku/kebudayaan Luwu, sehingga komunitas luas yang terdiri dari 21 kecamatan ini dikelompokkan sebagai suku Bugis atau Toraja, padahal mereka memiliki kebudayaan dan adat-istiadat tersendiri yang – meskipun ada kemiripan – berbeda dari suku Bugis, lebih-lebih Toraja.


Dalam masyarakat Luwu, panggilan “Daeng” setidaknya memiliki 3 arti:
1. “Daeng” (tanpa nama gelar) sebagai panggilan hormat (honorofik) untuk kakak kandung, baik    laki-laki       maupun perempuan.
2. “Daeng” (tanpa nama gelar) sebagai panggilan umum yang sangat sopan kepada orang yang lebih tua (laki-laki atau perempuan). Fungsi panggilan “Daeng” di sini berlaku bagi semua kalangan dan stratifikasi sosial, baik yang sudah menikah maupun yang belum.
3. “Daeng” (dengan nama gelar) sebagai panggilan atau julukan yang diberikan kepada seseorang yang telah menikah. Panggilan “Daeng” yang disertai nama gelar ini tidak ditentukan sendiri tetapi diberikan oleh orang lain atau masyarakat sekitar sesuai dengan sifat atau pembawaan seseorang. Contoh, seseorang dijuluki “Daeng Pacidda” karena selalu cepat dalam bertindak (pacidda = bertindak cepat). Seseorang dijuluki “Daeng Madduppa” karena setiap prediksi/perkataannya selalu benar dan terjadi (madduppa = terjadi). Seseorang dijuluki “Daeng Pabeta” karena selalu untung/menang dalam kompetisi (pabeta = untung/menang).
Yang masih bertahan sampai sekarang hanya poin (1) dan (2), sedangkan poin (3) perlahan-lahan sudah tidak dipakai lagi oleh generasi sekarang. Julukan-julukan seperti itu masih saya jumpai pada orang tua saya sendiri dan orang-orang segenerasinya, namun tidak disandang lagi oleh anak-anaknya atau generasi berikutnya (sekalipun masih ada segelintir keluarga yang tetap mempertahankannya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...