Sejarah tentang toraja . . .
- Tahun 1926 Tana Toraja sebagai Onder Afdeeling Makale-Rantepao dibawah Self bestur Luwu
- Tahun 1946 Tana Toraja terpisah menjadi Swaraja yang berdiri sendiri berdasarkan Besluit Lanschap Nomor 105 tanggal 8 Oktober 1946
- Tahun 1957 berubah menjadi Kabupaten Dati II Tana Toraja berdasarklan UU Darurat Nomor 3 Tahun 1957
- UU Nomor 22 Tahun 1999 Kabupaten Dati II Tana Toraja berubah menjadi KABUPATEN TANA TORAJA
"ASAL MULA DARI SUKU TANA TORAJA...
Konon,
leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos
yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan
masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja
yang pertama menggunakan "tangga dari langit" untuk turun dari nirwana,
yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua
(Tuhan Yang Maha Kuasa).
Lain
lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang anthtropolog, dalam penelitiannya
menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses
akulturasi antara penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan
Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari
Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi antara kedua masyarakat
tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo Cina dengan jumlah yang
cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di
daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di
daerah tersebut.
Nama
Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dan dari luwu.
Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebuatn To Riaja
yang mengandung arti "Orang yang berdiam di negeri atas atau
pegunungan", sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya
adalah "orang yang berdiam di sebelah barat". Ada
juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari
kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan
penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri,
sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana
Toraja.
Konon
manusia yang turun ke bumi, telah dibekali dengan aturan keagamaan yang
disebut aluk. Aluk merupakan aturan keagamaan yang menjadi sumber dari
budaya dan pandangan hidup leluhur suku Toraja yang mengandung
nilai-nilai religius yang mengarahkan pola-pola tingkah laku hidup dan
ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang Matua.
Cerita tentang perkembangan dan penyebaran Aluk terjadi dalam lima tahap, yakni: Tipamulanna Aluk ditampa dao langi' yakni permulaan penciptaan Aluk diatas langit, Mendemme' di kapadanganna
yakni Aluk diturunkan kebumi oleh Puang Buru Langi' dirura.Kedua
tahapan ini lebih merupakan mitos. Dalam penelitian pada hakekatnya aluk
merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa kaum imigran dari dataran
Indo Cina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.
Beberapa Tokoh penting daiam penyebaran aluk, antara lain: Tomanurun Tambora Langi' adalah pembawa aluk Sabda Saratu' yang mengikat penganutnya dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.
Selain daripada itu terdapat Aluk Sanda Pitunna
disebarluaskan oleh tiga tokoh, yaitu : Pongkapadang bersama Burake
Tattiu' menuju bagian barat Tana Toraja yakni ke Bonggakaradeng,
sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba'bana
Minanga, derngan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja
"To Unnirui' suke pa'pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata
sosial yang tidak mengenal strata. Kemudian Pasontik bersama Burake
Tambolang menuju ke daerah-daerahsebelah timur Tana Toraja, yaitu daerah
Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta'bi, Tabang, Maindo
sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan membawa pranata sosial yang
disebut dalam bahasa Toraja : "To Unnirui' suku dibonga, To unkandei
kandean pindan", yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan
masyarakat dalam tiga strata sosial.
Tangdilino bersama Burake Tangngana ke daerah bagian tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial "To unniru'i suke dibonga, To ungkandei kandean pindan", Tangdilino diketahui menikah dua kali, yaitu dengan Buen Manik, perkawinan ini membuahkan delapan anak. Perkawinan Tangdilino dengan Salle Bi'ti dari Makale membuahkan seorang anak. Kesembilan anak Tangdilino tersebar keberbagai daerah, yaitu Pabane menuju Kesu', Parange menuju Buntao', Pasontik ke Pantilang, Pote'Malla ke Rongkong (Luwu), Bobolangi menuju Pitu Ulunna Salu Karua Ba'bana Minanga, Bue ke daerah Duri, Bangkudu Ma'dandan ke Bala (Mangkendek), Sirrang ke Dangle.
Itulah
yang membuat seluruh Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo diikat
oleh salah satu aturan yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan
Tana Matari' Allo arti harfiahnya adalah "Negri yang bulat seperti bulan dan Matahari".
Nama ini mempunyai latar belakang yang bermakna, persekutuan negeri
sebagai satu kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini
dikarenakan Tana Toraja tidak pernah diperintah oleh seorang penguasa
tunggal, tetapi wilayah daerahnya terdiri dari kelompok adat yang
diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan ada sekitar 32 pemangku
adat di Toraja.
Karena
perserikatan dan kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah nama
perserikatan bundar atau bulat yang terikat dalam satu pandangan hidup
dan keyakinan sebagai pengikat seluruh daerah dan kelompok adat
tersebut.
Upacara adat rambu solo ( upacara kematian )
Rambu Solo adalah upacara adat
kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan
mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu
kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat
peristirahatan, disebut dengan Puya, yang terletak di bagian selatan
tempat tinggal manusia. Upacara ini sering juga disebut upacara
penyempurnaan kematian. Dikatakan demikian, karena orang yang meninggal
baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini
digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap
sebagai orang “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan
seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi
hidangan makanan dan minuman, bahkan selalu diajak berbicara.
Oleh
karena itu, masyarakat setempat menganggap upacara ini sangat penting,
karena kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi arwah orang yang
meninggal tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang
mencapai tingkat dewa (to-membali puang), atau menjadi dewa pelindung
(deata). Dalam konteks ini, upacara Rambu Solo menjadi sebuah
“kewajiban”, sehingga dengan cara apapun masyarakat Tana Toraja akan
mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua mereka yang
meninggal dunia.
Kemeriahan upacara
Rambu Solo ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur
dari jumlah hewan yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih,
semakin tinggi status sosialnya. Biasanya, untuk keluarga bangsawan,
jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan
warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah 50 ekor babi.
Dulu, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan.
Namun seiring dengan perkembangan ekonomi, strata sosial tidak lagi
berdasarkan pada keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat
pendidikan dan kemampanan ekonomi. Saat ini, sudah banyak masyarakat
Toraja dari strata sosial rakyat bias
Keistimewaan Rambu Solo
Puncak
dari upacara Rambu Solo disebut dengan upacara Rante yang dilaksanakan
di sebuah “lapangan khusus”. Dalam upacara Rante ini terdapat beberapa
rangkaian ritual yang selalu menarik perhatian para pengunjung, seperti
proses pembungkusan jenazah (ma‘tudan, mebalun), pembubuhan ornamen dari
benang emas dan perak pada peti jenazah (ma‘roto), penurunan jenazah ke
lumbung untuk disemayamkan (ma‘popengkalo alang), dan proses
pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir (ma‘palao).
Selain
itu, juga terdapat berbagai atrakasi budaya yang dipertontonkan, di
antaranya: adu kerbau (mappasilaga tedong), kerbau-kerbau yang akan
dikorbankan diadu terlebih dahulu sebelum disembelih; dan adu kaki
(sisemba). Dalam upacara tersebut juga dipentaskan beberapa musik,
seperti pa‘pompan, pa‘dali-dali dan unnosong; serta beberapa tarian,
seperti pa‘badong, pa‘dondi, pa‘randing, pa‘katia, pa‘papanggan,
passailo dan pa‘pasilaga tedong.
Menariknya
lagi, kerbau disembelih dengan cara yang sangat unik dan merupakan ciri
khas mayarakat Tana Toraja, yaitu menebas leher kerbau hanya dengan
sekali tebasan. Jenis kerbau yang disembelih pun bukan kerbau biasa,
tetapi kerbau bule (tedong bonga) yang harganya berkisar antara 10–50
juta perekor. Selain itu, juga terdapat pemandangan yang sangat
menakjubkan, yaitu ketika iring-iringan para pelayat yang sedang
mengantarkan jenazah menuju Puya, dari kejauhan tampak kain merah
panjang bagaikan selendang raksasa membentang di antara pelayat
tersebut.a menjadi hartawan, sehingga mampu menggelar upacara ini...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar